Energi surya telah menjadi fokus utama
dalam upaya global untuk mengatasi tantangan berkelanjutan yang dihadapi oleh
umat manusia saat ini. Seperti yang kita ketahui, energi surya merupakan salah
satu sumber energi terbarukan yang sangat berpotensi untuk menggantikan bahan
bakar fosil yang semakin langka dan berdampak buruk terhadap lingkungan. Sebagai
sumber energi terbarukan yang tidak mencemari lingkungan, energi surya
menawarkan potensi yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan listrik,
mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mempromosikan keberlanjutan dalam
pembangunan. Namun, di balik berbagai peluang yang ditawarkannya, ada juga
tantangan yang perlu dihadapi untuk memanfaatkan secara efektif energi surya.
Dari aspek teknologi, keuangan, hingga kebijakan publik, perlu adanya sinergi
yang kuat antara sektor publik dan swasta untuk mempercepat penggunaan energi
surya di seluruh dunia. Dengan mempertimbangkan potensi dan kesulitan yang
melekat pada energi surya, diperlukan komitmen dan upaya kolaboratif yang
berkelanjutan untuk memanfaatkannya secara optimal demi masa depan yang lebih
cerah dan berkelanjutan.
Indonesia, sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia dengan populasi yang besar, memiliki potensi sumber daya alam
yang melimpah. Salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan adalah energi
terbarukan. Energi terbarukan adalah sumber energi yang tidak terbatas dan
dapat terbarukan secara alami, seperti energi matahari, energi angin, energi
hidro, energi biomassa, energi geothermal, dan energi kelautan.
Transisi energi menjadi topik yang tengah hangat diperbincangkan di Indonesia dan semakin relevan dengan kondisi saat ini. Dari ketergantungan yang tinggi pada bahan bakar fosil, pola supply-demand energi di Indonesia sedang berproses menuju pemanfaatan maksimal sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Transisi energi diharapkan tidak hanya berdampak pada keberlanjutan lingkungan, tetapi juga pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Dari segi konteks, transisi energi merupakan perubahan dari sistem pemanfaatan energi yang berbasis pada sumber daya tak terbarukan menjadi sistem yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, mengurangi polusi udara, serta mengurangi ketergantungan pada energi impor. Transisi energi menjadi sangat penting mengingat sumber daya tak terbarukan semakin menipis dan dampak negatif akibat penggunaannya yang signifikan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Indonesia, di sisi lain, memiliki potensi yang besar dalam pengembangan energi terbarukan. Dengan letaknya yang strategis di kawasan tropis, Indonesia memiliki sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun, potensi angin yang besar di sebagian wilayahnya, potensi energi hidro yang tinggi, serta potensi energi laut yang besar. Namun, pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih terbatas dan belum optimal.
Selain pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi juga memainkan peran penting dalam transisi energi. Efisiensi energi mencakup penggunaan energi yang bijak dan hemat, serta penerapan teknologi yang lebih efisien dalam penggunaan energi. Langkah-langkah efisiensi energi dapat dilakukan di berbagai sektor, seperti transportasi, industri, dan rumah tangga. Dengan meningkatkan efisiensi energi, kita dapat mengurangi penggunaan energi fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan menghemat biaya energi.
Meskipun terdapat potensi yang besar dalam pengembangan energi bersih dan terbarukan di Indonesia, terdapat juga tantangan dan kendala yang perlu diatasi. Salah satu tantangannya adalah kurangnya akses ke teknologi dan investasi yang diperlukan untuk mengembangkan energi terbarukan. Selain itu, kendala-kendala regulasi dan infrastruktur juga menjadi hambatan dalam pengembangan energi terbarukan. Pembangun infrastruktur yang mendukung penggunaan energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan turbin angin, mutlak diperlukan. Di samping itu, jaringan ketenagalistrikan masih perlu diperluas dan diperkuat agar energi terbarukan dapat terdistribusi dengan baik hingga menjangkau seluruh wilayah Indonesia.Tantangan lainnya adalah perubahan pola pikir masyarakat. Meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan energi dan pentingnya pelestarian lingkungan menjadi salah satu faktor pendorong dalam transisi energi. Masyarakat yang semakin menyadari dampak negatif dari penggunaan energi fosil, akan terpicu untuk beralih ke energi bersih dan terbarukan. Oleh karenanya, publik perlu diedukasi tentang pentingnya penggunaan energi terbarukan. Banyak orang masih beranggapan bahwa penggunaan energi terbarukan merupakan hal yang mahal dan sulit dilakukan. Padahal, dengan perkembangan teknologi, biaya penggunaan energi terbarukan semakin terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat.
Dibutuhkan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam mengatasi tantangan dan kendala ini. Adanya kebijakan dan regulasi yang mendukung pengembangan energi bersih juga menjadi faktor pendorong yang sangat penting bagi keberlangsungan transisi energi. Saat ini, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan serta instrumen untuk mendorong pengembangan energi terbarukan. Diantaranya berupa insentif seperti pengurangan pajak atau subsidi untuk penggunaan energi terbarukan. Hal ini akan mendorong investor dan pelaku industri untuk berinvestasi dan mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.
Dari berbagai peluang dan tantangan yang ada, pekerjaan rumah terpenting yang wajib dikerjakan oleh otoritas penguasa adalah menciptakan kerangka regulasi yang kondusif bagi rakyatnya. Agar proyek transisi energi tidak sekadar menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi produsen-produsen teknologi di luar sana. Agar rakyat tidak hanya menjadi penonton bagi pekerja-pekerja asing yang berdatangan, tapi juga menjadi tuan rumah yang berperan aktif dalam prosesi transisi energi di negerinya sendiri. Agar pembangunan dan kesejahteraan yang tercipta, bisa betul-betul dinikmati oleh seluruh rakyat, bukan hanya oleh segelintir orang-orang di lingkaran tertentu.
Lingkaran kekuasaan tampak semakin membatu belakangan ini. Roda pemerintahan terkesan dijalankan secara ugal-ugalan, bahkan brutal. Kebijakan demi kebijakan yang menyusahkan rakyat ditelurkan secara bertubi-tubi. Di sisi lain, kanal-kanal aspirasi untuk mengoreksi berbagai kebijakan publik seolah tersumbat. Padahal komunikasi dua arah yang sehat antara penguasa dan rakyat merupakan pilar bangunan masyarakat modern dan sejahtera.
Ketika ekonomi masyarakat mulai menggeliat setelah dua tahun dirundung pandemi Covid-19, lonjakan harga minyak goreng menjadi kado awal tahun yang pahit bagi rakyat. Berbagai upaya dicoba, tapi gagal. Intervensi harga memicu kelangkaan. Tak diintervensi tapi harga tinggi. Belum selesai urusan minyak goreng, sudah timbul lagi masalah kenaikan harga daging, telur, dan sebagainya. Ditambah kenaikan tarif listrik, harga BBM, PPN, dan terakhir, rencana kenaikan tarif KRL dan jalan tol. Semua berlangsung tanpa jeda. Tanpa ruang bernafas bagi rakyat.
Legislator yang seharusnya menjadi perpanjangan lidah rakyat justru tak terdengar gaung pembelaannya. Ada yang sibuk menjilat dengan isu tiga periode. Ada yang sibuk mengurusi gorden rumah dinas. Ada yang sibuk negosiasi dan konsolidasi menuju 2024. Ada pula yang sibuk menyalahkan rakyat. Para elit partai.. ah sudahlah. Mereka pun sudah tak punya malu terhadap yang namanya rakyat.
Dengan kondisi seperti ini kemana lagi rakyat harus mengadu dan berkeluh kesah? Media sosial? Bisa. Itu pun harus berhadapan dengan para pendengung bayaran penguasa beserta para pengikutnya. Aspirasi sedemikian sulit disampaikan. Keadilan sangat susah didapatkan. Kecuali bagi mereka yang pro-rezim. Ibarat saluran air yang tersumbat, situasi ini tidak sehat bagi negeri.
Jika penguasa tidak segera menyadari kesalahannya dan membiarkan keadaan seperti ini terus berlangsung, maka tunggulah saat air itu meluap. Memenuhi jalan-jalan. Membanjiri ruang publik dengan tuntutan turunkan rezim berkuasa.
Kita akan bahas soal listrik di kesempatan yang lain. Sekarang BBM dulu. Mumpung masih hangat. Jelang akhir tahun 2014, Jokowi meneken Peratutan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Regulasi ini berimbas pada penyusutan alokasi anggaran subsidi BBM, bahan bakar nabati (BBN) dan gas elpiji 3 kg sebesar hampir 200 triliun rupiah.
Perpres No. 191/2014 tidak hanya terkait perubahan harga, tapi juga memperkenalkan skema baru dalam subsidi BBM. Skema tersebut memperkenalkan tiga klasifikasi produk bahan bakar, yaitu BBM Jenis Tertentu, BBM Khusus Penugasan, dan BBM Umum (lihat Tabel 1).
Kategori pertama, BBM Tertentu. Mencakup solar dan minyak tanah. Produk-produk ini masih menerima subsidi. Skema subsidinya sbb:
- Solar disubsidi dengan mekanisme subsidi tetap. Harga solar bisa bervariasi. Tapi margin subsidinya secara keseluruhan adalah tetap, yaitu Rp 1000,- per liter antara harga (jual) domestik dan harga pasar.
- Minyak tanah disubsidi dengan mekanisme harga tetap. Ini artinya harga minyak tanah akan tetap sama, sementara biaya subsidi keseluruhan akan bergantung pada perbedaan aktual antara harga pasar dengan harga domestik tahunan.
Kategori ketiga, BBM Umum, adalah jenis BBM yang benar-benar tidak disubsidi. Masuk ke dalam kategori ini adalah BBM golongan Perta. Hanya saja, masih menurut Perpres 191/2014, Premium untuk wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) juga termasuk ke dalam kategori BBM Umum. Bahan bakar ini akan didistribusikan pada harga yang telah disesuaikan dengan harga pasar di wilayah Jawa-Madura-Bali, yang merupakan pusat populasi dan kegiatan ekonomi Indonesia. Jadi sebetulnya, BBM jenis Premium di wilayah Jamali bukanlah BBM bersubsidi.
Kelangkaan Premium dan Revisi Aturan
Realisasi Perpres 191/2014 ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Yaitu kelangkaan Premium di Stasiun Pengisian Bahan-bakar Umum (SPBU) di wilayah Jamali. Kelangkaan ini sebetulnya cukup aneh karena berdasarkan regulasi tersebut Premium adalah jenis bahan bakar yang harganya sudah sesuai dengan harga keekonomian. Tidak disubsidi. Artinya Pertamina sebagai penyedia, mendapatkan keuntungan penuh dan tunai dari penjualan Premium sama seperti penjualan BBM non-subsidi lainnya.
Alasan demand yang menurun karena masyarakat beralih ke Pertalite dijadikan justifikasi bagi Pertamina untuk menghentikan penyaluran Premium ke lebih dari dua ribu SPBU di wilayah Jamali. Alasan ini masuk akal ketika selisih harga Premium dan Pertalite tidak seberapa jauh. Tapi menjadi tidak relevan ketika disparitas harga Pertalite - Premium semakin lebar, karena masyarakat cenderung kembali ke Premium. Dan saat akan beralih kembali inilah Premium sudah menghilang. Akhirnya Pertalite menjadi satu-satunya opsi BBM "murah" yang tersedia. Kondisi inilah yang sebenarnya memacu tingkat konsumsi Pertalite sekaligus menekan konsumsi Premium, yang terdokumentasi dalam statistik energi nasional pada rentang tahun 2015 - 2017.
Meski demikian, alasan yang paling realistis adalah Premium hilang karena faktor bisnis. Menjual bensin kelas Pertamax dan Pertalite lebih menguntungkan daripada Premium. Sehingga SPBU cenderung mengurangi bahkan menghapus Premium dan menggantikannya dengan Pertalite. Hal inilah yang menjadi salah satu temuan investigasi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH MIGAS) beberapa waktu lalu.
Pemerintah kemudian merevisi regulasi lama (Perpres 191/2014) melalui penerbitan Perpres No. 43/2018 yang disahkan bulan Mei kemarin. Poin pentingnya ada 3:
- Premium tetap dikategorikan sebagai BBM Khusus Penugasan, tapi tidak lagi terkategori sebagai BBM Umum.
- Wilayah Jamali tidak lagi dikecualikan dalam penyaluran BBM Khusus Penugasan. Pemerintah berhak mewajibkan Pertamina untuk menyalurkan Premium di wilayah ini.
- Harga Premium di Jawa-Madura-Bali ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), karena statusnya yang sudah dialihkan sebagai BBM Khusus Penugasan saja.
Lalu apakah dengan statusnya yang sekarang sebagai BBM Khusus Penugasan, harga Premium kembali disubsidi Pemerintah? Tidak. Karena skema subsidi BBM Khusus Penugasan tidak berubah, yaitu subsidi untuk kompensasi biaya distribusi BBM. Untuk wilayah Jamali, biaya penyaluran dan distribusi sudah termasuk ke dalam struktur harga jual eceran di SPBU. Artinya berapapun harga Premium yang ditetapkan oleh Pemerintah, itu sudah pada tingkat harga keekonomian yang berbasis pada indeks harga pasar.